Apakah Akidah Islam Itu ?

Akidah Islamiyah adalah : “iman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitab­Nya, para rasulNya, hari akhir; Aqidah inilah yang terkenal di kalangan kaum musli-min dengan sebutan “ arkanul iman” . Namun setelah munculnya banyak perdebatan di kalangan ulama ahli kalam tentang “qadho’ dan qadar ” maka sejak itu akidah Islamiyah telah menjadi enam bagian  yaitu; iman kepada Allah, para malai-katNya, kitab-kitab­Nya, para rasulNya, hari akhir; juga kepada qadlo’ dan qadar baik buruknya dari Allah SWT”.

     Adapun mengenai dalil-dalil akidah, maka adakalanya dalil bersifat “aqli” dan ada-kalanya bersifat “naqli”, tergan­tung perkara yang diimani. Kriteria dalil adalah seba-gai berikut :
  • Jika yang diimani itu masih dalam jangkauan panca indera, maka dalil kei-manannya bersi­fat aqli.
  • Jika yang diamni berada di luar jangkauan panca inde­ra, maka ia harus di-dasar­kan pada dalil naqli.
            Namun perlu di­ingat bahwa penentuan suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan dalil tersebut dilaku­kan melalui penyelidikan untuk me-nentukan mana yang boleh dan mana yang tidak untuk dapat dijadikan sebagai dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang akidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah.
     Dalam hubungan ini, Imam Syafi'i berkata1):
     "Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukal­laf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indera, dan ini merupakan suatu keharusan. Hal seperti itu merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin".
Peranan akal dalam masalah keimanan 
Akal manusia mampu membuktikan sesuatu yang berada di luar jangkauannya jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas­nya, seperti perkataan seorang Badui (suku bangsa pengembara di Tanah Arab) tatkala dita­nyakan kepadanya"Den- gan apa engkau mengenal Rabbmu?" Jawabnya:
     "Tahi Onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas ta­pak kaki menunjuk-kan ada orang yang berjalan.  Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa.
       Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an adalah bukti ek­sistensiAllah (tentang adanya sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan mahluk-mahlukNya. Sebab, kalau akal diajak untuk mencari dzatNya, maka tentu saja akal tidak mampu men­jangkauNya, meskipun dapat menjankui ciptaan-ciptaanNya, seperti firmanNya :
"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman.  Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang ber­tebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekua­saan Allah) bagi kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-nya dengan air hujan itu bumi (tanah) sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal " (QS Al Jaatsiyat 3-5).
     Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang dzat Allah. Sebab, manu­sia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT de­ngan suatu mahluk. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda  2) :
 تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في الله فإنكم لن تقدروا  قدْره
     "Berfikirlah kamu tentang mahluk Allah tetapi janganlah kamu pikirkan tentang Dzat Allah itu sendiri. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatNya yang sebenarnya" 

seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianali­sa. Ia tak dapat dianalogkan pada suatu bentuk materi apapun, semisal manusia, atau mahluk aneh yang berta­ngan sepuluh dan sebagainya. 
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dika­barkan­Nya melalui al-wahyu. Apabila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang (usaha) menyerupakan Allah dengan makh­luk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat /ha­dits tersebut atau menta'wilkannya,ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar jangkauan akal. Itulah sikap yang dipegang oleh para sahabat, tabi'in dan ulama salaf.

     Imam Ibnul Qoyyim berkata2):
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Pada­hal mereka itu adalah umat yang dijamin sempurna iman­nya. Tetapi, alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan paham satu sama lain dalam menghadapi masalah-masalah Asma’ Allah, per­buatan-perbuatan Allah, sifat-sifat­Nya. Me-reka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur'an dengan suara bulat. Mereka tidak men­ta'wilkannya, juga mereka tidak memalingkan pengertiannya".
     Ketika Imam Malik3) ditanyakan tentang maknanya Istiwa' Allah  (bersema-yamNya) di atas ‘Arsy ? beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata:  
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak diketahui. Juga, kaifiyat (cara)nya bukanlah hal yang dapat dimengerti. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah".      
Inilah jalan yang ditempuh oleh imam Muhammadd bin Idris Asy-Syafi'iy, Muhammad Abdul Hasan Asy-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.

Kerusakan akidah umat Islam akibat pilsafat Yunani
       Ini berbeda dengan sikap dan pendapat ulama khalaf (Ulama Mutakhirin), terutama ahli ilmu kalam (Mutakallimin). Mereka tidak menjalani cara yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka tidak puas dengan cara berfikir demikian. Oleh karena itu, mereka lalu menta'wilkan Al-Wahyu yang termasuk dalam kategori mutasyabihat sesuai dengan kehendak akal dan i'tikad yang tujuannya untuk mensucikan Allah dan sifat-sifatNya secara tidak layak. Mereka juga menggu­nakan pula dalil aqli yang ber-dasarkan ilmu mantiq untuk, misalnya, mem­bahas bergeraknya Allah, diamNya, turunNya ke langit, atau hubungan antara sifat dengan Dzat Allah dan lain-lain.

      Meskipum ulama khalaf menempuh jalan yang tidak sesuai de­ngan apa yang telah ditentukan Al-Qur'an, tetapi mereka tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalil-dalil syara'. Berbeda halnya dengan jalan yang ditempuh oleh para pilosof dan kaum Muslimin yang memandang dan fisafat Yunani sebagai tolok ukur /titik tolak akidah. Mereka telah mencoba menggunakan akal untuk memecahkan permasalahan yang pernah dialami oleh para pilo­sof Yunani terdahulu, tanpa kembali kepada ketentuan Al-Wahyu. Mulailah mereka melontarkan kembali masalah-masalah klasik, se­perti Wihdatul Wujud (panteisme), keadilan Allah, takdir (keputusanNya), dan keterbatasan ilmu Allah, atau pembahasan bahwa iblis tidak akan kekal dalam neraka dan seterusnya.
       Pendapat-pendapat mereka (ahli ilmu kalam dan pilosof muslim) ini­lah yang telah meragukan umat terhadap beberapa hal yang ber­kait­an dengan masalah akidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan mengeluarkan sebagian kaum Muslimin dari Islam. Oleh karena itu akidah Islam perlu dijauhkan dari ilmu Mantiq atau filsafat agar tidak membahayakan akidah umat. Dengan menggaris bawahi bahwa sumber akidah hanyalah Al-Qur'an dan hadits-hadits mutawatir.
--------------------------------------------------------------
1) Lihat buku "Fiqhul Akbar" oleh Imam Syafi'i.
2) Lihat buku "I'laamul Muuraqqiin" jilid I, halaman 55.
3) Lihat kitab "Fathul Barri" Jilid XII, halaman 9l5.